Showing posts with label PENDIDIKAN. Show all posts
Showing posts with label PENDIDIKAN. Show all posts

Sep 29, 2018

TEORI PEMBELAJARAN

Teori Pembelajaran Sebagai dasar Pedagogik
Oleh: Karman Zein, M.Pd
Gambar: Akvitas pembelajaran dikelas












Mengembangkan sebuah pemahaman dasar dalam memaknai nilai secara umum serta penalaran dasar atas kajian realitas sebagai tindakan dibutuhkan aktivitas belajar. Kegiatan belajar bisa terdeteksi apabila adanya keperluan seseorang untuk ingin mengetahui, proses ini bisa diartikan sebagaai tindakan belajar. Jika merujuk pada pendapat Margaret E Gledler mengenai belajar metode untuk pelatihan refleks guru dalam merespons peristiwa baru menjadi menjadi pendekatan teoritis, secara singkat berkaitan dengan teori belajar. Tentu bukan sekedar memahami itu sebagai kerangka teori namun yang paling penting merupakan refleksi atas teori terhadap dunia  kontekstual.
Pada prinsipnya kesenjangan teori belajar sebagai suatu usaha untuk memahami suatu realitas hasil bejalar, akan tetapi yang harus dilakukan sebagai aplikasi teori itu sendiri. Dengan demikian suatu keutuhan teori maka harus ada keseimbangan antara teori tersebut dan realitas lapangan. Untuk memahami realitas dilapangan bukan sekedar membaca teori yang ada namun harus ada langkah konkrit maka harus dibutuhkan namanya riset ilmiah. Sebagaimana jelaskan terkait dengan kerangka ilmiah tidak sekedar melahirkan kebingungan atau kebimbangan di kelas, sehingga yang dibutuhkan sebagai realitas dilapangan. Mungkin sedikit berbeda dengan terori belajar yang dikembangkan Vygotsky dalam margaret bahwa tindakan menunjukan kebingungan dari kumpulan data empris yang tidak dikordinasikan dengan baik.
Sejalan dengan itu perlukan pemahaman dasar untuk membentuk pola pikir dalam dalam pembelajaran. Dalam padangan filsafat dikenal dengan teori belajar konstruktivisme, secara singkta dalam tinjauan teori ini siswa diharapkan menemukan dan mengembangkan atau mentransformasikan informasi yang kompleks maka Suparno menjelaskan bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Jelasnya teori belajar konstruktivisme hasil konstruksi siswa melalui interaksi dengan obejek dan fenomena dalam lingkungan sekolah atau lingkungan dimana berada.
Teori belajar konstruktivisme memang mengkonstruksi atau membangun pemahaman siswa mengetahui pengetahuan dalam memahami realitas yang ada dalam sebuah lingkungan. Ini diperjelas oleh Karli  menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.
Dalam pembahasan ini penulis ingin mengutarakan bagaimana kesenjangan teori belajar dan praktik (lapangan) serta hubungannya dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Perlu adanya keseimbangan antara teori dan lapangan sehingga tidak krisis pemahaman terhadap suatu hasil dari pembelajaran. Mengutip pendapatan yang diutarakan oleh Siberman dalam O’neil tentang Crisis In The Classrom (Krisis di dalam kelas) bukan sekedar ketebatan pengetahuan dalam kelas akan tetapi implementasi hasil belajar dilapangan.
Teori belajar konstruktivisme memiliki keutuhan jika kita melakukan secara cermat dalam membentuk pemahaman siswa secara teoritis dan realitas lapangan. Ini berdasarkan beberapa realitas saat ini, seolah pembelajaran hanya berpusat pada target mengejar kurikulum yang sudah dicanangkan oleh pemerintah, yang seolah menjadi suatu kewajiban secara tidak langsung kita mengabaikan kondisi realitas atau konten dari inti pembelajaran itu sendiri. Sehingga tidak sejalan dengan teori belajar yang sudah dikembangankan.
 Kesenjangan ini tidak bisa diterima oleh guru begutu saja. Seorng guru mengingkan sebagaimana teori yang sementara kebijakan mengarahkan untuk dilakukan yang sudah terprogram dan mengabaikan substansi sehingga yang terjadi guru hanya mengejar yang telah ada. Seorang sadar bahwa Tugasnya  adalah membantu agar peserta didik lebih dapat mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Sehingga belajar sebagai suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu (Fosnot, 1989: 20). Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru.

Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.           
Atas dasar itulah kesenjangan teori dan lapangan, dinama guru berpandangan konstruksi hanya menginternaliasasi  pengalaman siswa dalam memahami suatu konteks yang dialaminya. Sejalan dengan itu Budianingsi menjelaskan bahwa teori belajar konstruktivisme mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi ke pikirannya, hanya pada konteks pengelaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Ini berari bahwa belajar sekedar mahami suatu teks buku.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.       
Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
Skemata;Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata.Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilas: proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
                                                                                                
Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
Pengelolaan pembelajaran, Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
Pemberian bimbingan, Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.

Hubungan Konstruksi Pembelajaran di lapangan
Menjadi sebuah ukuran yang tepat jika hubungan antara teori dan kondisi realitas yang ada dilapangan merupakan sebuah gambaran keterkaitan antara proses belajar dalam memahami sesuatu objek yang kompleks, sebagai bagian aplikasi nilai  C. Siberman dalam O’neill,  mencoba merumuskan sebuah teori yang dikenal dengan Crisis In The Classroom (Krisis dalam Kelas) ini menunjukan bahwa kondisi pembelajaran menjadi aktvitis refleksi atas teks buku atau dengan kata lain terkonsentrasi pada penghafalan teori saja serta mengabaikan kontekstual.
Disini membutuh peran teori belajar yang benar-benar dapat membentuk pola belajar yang seimbang antara teori dan lapangan. Secara jelas kita memahami teori sebagai seperangkat asumsi yang jelas tentang aspek belajar, prinsip spesifik yang diambil dari asumsi yang diuji melalui riset (Gredler). Pembentukan teori belajar berfungsi sebagai kerangka melakukan riset, memberi kerangka organisasi dari peristiwa yang kompleks, mengorganisasi pengalaman sebelumnya serta bertindak sebagai penjelasan kerja dari peristiwa.
Sebagai contoh dapat kita tentukan  ukuran pembelajaran atau sebuah hukum belajar yang berorintasi pada tindakan memahami interaksis siswa secara kompleks. Peristiwa kadang tidak disadari sebagai suatu problem mendasar dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai hukum belajar yang dikembangkan oleh Torndike dalam Gredler; sebagai suatu upaya mengidentifikasi arti penting dari konsekuensi perilaku bagi proses belajar. Pieget menghubungkan sebagai pemahaman tentang praktik kelas yang memfasilitasi perkembangan logis. Ini berarti bahwa hubungan antara lapangan dan perangkat sangat memiliki keterkaitan secara teoritis.
Anderson, Dkk dalam Schunk menjelaskan bahwa inti dari pemikiran konstruktivisme menekankan pada proses kognitif (termasuk berpikir dan belajar) terletak dalam situasi-situasi atau konteks fisik dan sosial. Ini menunjukan proses belajara bukan memahami teori yang ada akan yang paling penting implementasi kelingkungan sekita. Saya mengutip pendapat Dewey bahwa sekolah merupakan semi lingkungan masyarakat sehingga proses belajar bukan terkonsentrasi pada teks buku namun mempersiapkan peserta didik agar siap berintekasi di masyarakat umum.
Terori perkembanganPieget mewakili konstruktivisme yang memandang perkembangankognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. (Trianto, 2007). Kerangka memahami realitas bukan sekedar konstruksi yang mengarah pembentukan pola pikir akan mampu menggerakan psikomotor siswa siswa sehingga apa yang harap secara guru dapat tercapai.  Apalagi belum diperhadap karakteristik siswa yang memang secara kultural berbeda motivasi belajarnya.

Teori Belajar Sebuah Solusi
Kehadiran teori belajar merupakan sebuah indikator dalam mengukur setiap aktivitas manusia. Karena melaui teori belajar setiap orang mampu memperkuat gagasannya melalui sebuah riset ilmiah. Tanpa teori belajar, dunia pendidikan tidak bisa melakukan sebuah kerangka ilmiah dalam menganalisai kemajuan dan kemunduran pendidikan.
Secara singkat solusi yang diharapakan dalam adalah finalisasi Kurikulum 2013 sebagai langkah menginternaliasasi pengalaman-pengalam belajar siswa. Secara sepintas kurikulum 2013 lebih cenderung pada teori belajar konstruktivisme, sehingga yang perlu ditindak lanjuti yakni melaksanakan acuan dasar yang tertera dalam kurikulum. Agar tidak berbanding terbalik, guru diharap mempunyai kompetesi yang matang daam membantu siswa mengkonstrusi pengalaman belajarnya.

Simpulan
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa teori belajar bukan sekedar sebuah konsep yang tertera dalam teks-teks buku, akan teori belajar sebagai indikator menunjang seorang guru sebagai kerangka ilmiah dalam memahami pembelajaran. secara konteks pembelajaran guru menganggap bahwa kontruksi siswa didasarkan atas pengalamannya dalam lingkungan sehingga ini perlu adanya hubungan antara pemahaman teori dan kondisi-kondisi realitas yang ada baik secara fisik maupun sosial masyarakat.
Dalam proses pembelajaran dikelas guru diharap mengkonstruksi pengalaman siswa berdasarkan acuan dasar seperti kurikulum sehingga tidak sekedar memahami pengalaman siswa. Namun pengalam siswa tersebut dijewantahkan dalam kegiatan pembelajaran. perbandingan antara teori praktik itu sangat penting apalagi dalam kurikulum 2013 siswa benar-benar dikontruksi dalam pengetahuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Budianingsi A.C.,2012, Belajar dan Pembelajaran., Jakarta: Rineka Cipta
Fosnot 1996, Enquiring Tteacherrs. EnquiringLearners A constructivist Approach for Tteaching. New York: Columbia University
Gredler M.E, 2011, Learning and Instruction, Teori dan Aplikasi., Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Karli H. dan Yuliariatiningsih, M.S. (2003). Model-Model Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.
O’neill W.F, 2008.,Ideologi-ideologi Pendidikan., Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Piaget. (1981) The psychology of Intelligence.Totawa: Littlefield, Adam & Co.
------- (1971). Psychology and Epistemology.New York:The Viking Press.
Schunk D.H, 2012, Learning Theories, and Education Perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suparno P, 2001, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Tim Revisi, 2010, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian., Edisi Kelima: Universitas Negeri Malang.
Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser.