Apr 27, 2019

TOGAL (MANIKA) DALAM DIMENSI NILAI

Togal (Manika) dalam Dimensi Nilai 
Oleh: Karman Zein
Penggiat Pusat Studi Masyarakat Kepulauan (PUSTAKA-MALUT)(Rilis SKH Malut Post: Rabu, 22 Maret 2017)

Foto Penari Togal dari Group Sanggar Gambus


Togal (Manika) dalam arti kata sebenarnya mengandung pengertian ”keindahan”, namun dalam kenyataannya ternyata Togal diplesetkan menjadi Tobelo Galela. Dalam pengertian lain dipahami sebagai pesan lahiria maupun batianiah. Nilai yang terkandung didalamnya terkadang kurang dimaknai dan diminati dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap generasi masa kini terutama anak muda Makean. Padahal manika memiliki nilai filosofis yang tinggi terutama berkaitan nilai ketaatan, tata krama, norma kesopanan serta toleransi. Misalnya simbolnya pada gerakan tangan serta dan pesan-pesan lainnya yang terkandung dalamnya. Melalui rilis ini penulis mencoba menguraikan beberapa sudut pandang berkaitan dengan tema tersebut yaitu; Togal (Manika) dalam demensi religius, seni dan estetika serta upaya pelestarian budaya. 

Manika dalam dimensi Religius
Manika sebagai salah satu cara menyampaikan pesan religiutas, bukan sekedar pantun atau sajak belaka atau syair biasa. Dalam frame berfikir orang Makean terutama Orang Makean Luar manika sebagai sebuah cara pandang tentang kehidupan yang hakiki. Kehidupan yang hakiki semata-mata telah tulis dalam filsafat timur (Alkindi) yang menjelaskan bahwa kehidupan hanya terdapat dua hal yaitu ”awal dan akhir”, peristiwa awal yang disebut dengan kelahiran dan akhir adalah kematian.
Lalu lau apa hubungannya manika dan proses kehidupan (khabluminallah), adapun beberapa syair pada manika seperti”Sungguh enak orang yang pergi orang tinggal apa rasanya”. Dalam tafsiran penulis  yaitu mereka telah kembali ke alam yang sebernarnya (alam Barzah). Di kalangan orang makean biasanya ketika orang wafat pasti seluruh keluarga berkumpul dan menangis, tangisan para keluarga itu bahkan ada yang mengiring tangisan itu dengan kata-kata diluar dugaan misalnya “Yaa Jou .,ampong e (permohonan ampun kepada Allah) …aee (bao/ma) e nii naya imiso mo la”, (……dia telah meninggalkan kita). Dalam konteks ini belum pernah ditemukan satu literature manapun yang menggali tentang makna dibalik fenomena tersebut, sehigga menurut hemat penulis berdasarkan pandangan kontruksi fenomenologi menurut telaah atas pendapat yang di kemukakan oleh Immanuel kant tentang menanggkap makna dibalik Fenomena dan Noumena, maka penulis berasumsi bahwa peristiwa menangisnya orang Makean ketika orang meninggal bisa jadi menangis karena bahagia atau sebaliknya (subjektif-Multitafsir), sesuai dengan konteks yang disebutkan diatas (Sungguh enak orang yang pergi orang tinggal apa rasanya)
Syair dan dola bololo dalam Togal (manika) lain misalnya”horu-horu to kodiho, sone foma kodiho ua”.  Ini yang sebenarnya dimaksudkan dengan perjalanan abadi (kembali ke alam Barzah). Dalam bahasa Makean “soia te di asal/Mul ni asal ”Kembali ke asal”. Syair-syair ini di ilhamni betul oleh leluhur etnis Makean. Namun dewasa ini banyak diantara kita memandang sempit dan mengnggap remeh dengan pesan-pesan pada togal (manika) ini. Kepercayaan tetua dari Makean seperti disebutkan pada beberapa sair tersebut semata-mata mereka percaya tentang kehidupan diakherat yang kekal dan abadi.
Dalam konteks hubungan sesama manusia (khablumminannas) togal (manika) dijewantahkan dalam bentuk sair atau dola bololo yang berbunyi  ”bicara no jaga ua, raci diri masirete  nilai-nilai yang terkandung didalam bait ini yaitu menjaga lidah dalam perkataan, dilanjutkan pada sair komador (istilah makean luar: Komentar) yang berbunyi “peliharakan lidah salah berkata badan binasa” betapa kuatnya nilai-nilai ini juga ternyata di lukiskan dalam konsep islam yaitu “menjaga lisan”.  Diskurus tentang syair Togal (manika) harus dijawab dengan reideologisasi nila-nilai togal (manika) sebagai pembangunan jati diri manusia. Sehingga melahirkan generasi muda yang mencintai Togal atau manika berdasarkan value (nilai) yang terkandung didalamnya.
            Diantara syair dan dola bolo tersebut diatas tanpa sadar mereka yang mencintai togal (manika) sering terucapkan ketika mendengar fiol (biola), Gambus dan Tifa, sajak (music togal), bahkan disisi lain lain secara terpisah ada satu fenomena yang lebih khusuk dikemas dalam bentuk ”jangan”. “Jangan” Merupakan sarana penyampaian pesan-pesan tentang kehidupan manusia sebagaimana tergambar pada togal atau manika tersebut diatas.

Gambar Penari dari Group Orkes Tedejiko
Dimensi  Seni dan Estetika
Togal pada dasarnya seni music/suara dan berkaitan penyampaian pesan baik itu antara sesama manusia dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu sesungguhnya tidak ada perbedaan dengan seni musik lainnya. Sehingga posisi togal atau manika dalam kerangka seni musik dimana terdiri atas atas instrument music, vocal hingga penyanyi  (Tools), dapat kita setarakan dalam konteks estetika.
Perbedaannya yang singnifikan dalam seni musik terletak pada alat (Tools) yang gunakan. Seperti musik dengan mazhab Pop, Dandut, Roker, Jazz dan lain-lain. pada Togal atau manika alat yang gunakan cukup sederhana, antara lain: Fiol (Biola), juk (gambus), Tifa, dan Suling. Dalam sisi pesannya hampir semuanya sama. Semua yang alat gunakan memiliki tata not yang sesuai ciri khas masing. Sehingga dapat dikatakan memiliki substansi yang sama yaitu menyampaikan pesan yang indah. Misalnya pada sepenggal syair dari lagu dandut “lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati” (karya Megi Z), ”masa bujang, masa yang berapi-api (karya Bang Roma Irama) sementara pada syair Togal (manika), “kemauan di orang tua rumah tangga akan kacau” (karya Ainun salamburung, dkk), semua syair ini pada prinsipnya memiliki makna dan pesan.
Dengan demikian jika ada orang Maken  (batogal) di tempat yang tak biasanya, katakanlah duduk di depan rumah  (bukan di Kobong) sambil batogal maka sesungguhnya tidak bertentangan dimensi seni dan estetika. Memang benar ketika orang Makean memperkenalkan Batogal saat mereka sementara menjalani aktivitas yang melelahkan dan mengasah harapan di kebun-kebun garapan.  Oleh karena itu sesungguhnya hanya perbedaan tempat. Lazimnya,  dewasa ini bagi orang Makean tidak perlu merasa minder batogal di depan umum, karena togal (manika) dan seni musik lain pada prinsipnya tidak ada perbedaan, dengan kata lain jika kita ingin kita lestarikan togal (manika) maka tidak ada asumsi Togal (Manika) itu Udik, kuno, kampungan dan lain-lain. Idealnya merubah minsdset orang tentang togal itu sesuatu yang sulit tapi marilah memulai dari diri kita sebagai orang Makean terutama dalam usaha melestarikan Togal (manika)

Dimensi Pelestarian Budaya
Ide tentang pelestarian Togal (manika) dalam sejarah orang makean terkesan hanya sebatas seremoni musiman. Berdasarkan kajian empirik Togal (manika) lebih kuat dipakai pada momen-momen tertentu. Sebenarnya pelestarian Togal manika bukan di mulai dengan Ramean atau Togal akbar dan sejenisnya. Akan tetapi lebih ditekankan pada penguatan nilai, sebab Togal atau manika bukan Ramean (Ronggeng) semata. Dalam sejarah perkembangan togal bagi elit makean dimaknai hanya sebatas ramean, ini terbukti ketika momentum tertentu Togal atau Manika pun menjadi alat mempersatukan orang. Jika togal hanya dilihat sebatas mempersatukan orang maka sesungguhnya telah keluar dari subtansi nilai hakiki dari Togal (manika) tersebut. Secara ekplisit Togal memberi sudut pandang tentang hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan Tuhan.  Dalam dimensi pelestarian budaya memang dibenarkan akan tetapi terdapat beberapa persoalan nilai yang harus dipertimbangkan.
Fakta empirik yang menunjukkan bahwa sebahagian besar orang Makean tidak lagi mencintai manika (togal) sebagai hasil karya dan rasa pendahulunya.  Problem yang hadapi dalam pelestarian togal bukan karena pengaruh budaya barat (Westernisasi) atau proses akulturasi dan asimilasi  budaya tertentu. Kompleksnya pengaruh kebudyaan luar turut dibenarkan serta dibiarkan menjadi kekuatan budaya baru. Ironi memang, di daerah-daerah yang monoculter,  yang tidak ada proses akulturasi asimilasi dan budaya togal (manika) pun mulai terjadi pergeseran dan penurunan sebagai budaya lokal. Sebut saja di Pulau Makean yang mulai hilang secara perlahan. Sehingga ini menimbulkankan pertanyaan mengapa justru togal (manika) tidak terkenal di daerahnya sendiri. Lalu apalagi yang kita banggakan dengan hasil karya, rasa dan cipta para pendahulu kita tersebut.
Oleh karena atas dasar argumentasi tersebut diatas, sebelum mengakhirinya, penulis ingin menyalurkan beberapa saran atas keprihatinan terhadap mulai menghilangnya nilai-nilai kearifan lokal terutama Togal (manika) sebagai salah satu karya Budaya Etnis Makean di antaranya: Menulis Sinopsis Togal (Manika), Gerakan Menjiwai Togal, menggalakkan gerakan pembuatan alat-alat pendukung Togal, Gerakan pembinaan pemain alat musik Togal secara dini, dan khususnya sekolah-sekolah di daerah yang mayoritas Etnis Makean perlu adanya penguatan kurikulum dan pembelajaran di bidang kearifan lokal khususnya Togal (Manika). Semoga bermanfaat. *sekian dan Terima/Syukur bahaya omo*

Apr 13, 2019

OSN JENJANG SMP TINGKAT PROVINSI MALUKU UTARA 2019

OSN JENJANG SMP TINGKAT PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2019

SELAMAT BERLOMBA, BUKTIKAN KALIAN PASTI BISA