Sep 29, 2018

TEORI PEMBELAJARAN

Teori Pembelajaran Sebagai dasar Pedagogik
Oleh: Karman Zein, M.Pd
Gambar: Akvitas pembelajaran dikelas












Mengembangkan sebuah pemahaman dasar dalam memaknai nilai secara umum serta penalaran dasar atas kajian realitas sebagai tindakan dibutuhkan aktivitas belajar. Kegiatan belajar bisa terdeteksi apabila adanya keperluan seseorang untuk ingin mengetahui, proses ini bisa diartikan sebagaai tindakan belajar. Jika merujuk pada pendapat Margaret E Gledler mengenai belajar metode untuk pelatihan refleks guru dalam merespons peristiwa baru menjadi menjadi pendekatan teoritis, secara singkat berkaitan dengan teori belajar. Tentu bukan sekedar memahami itu sebagai kerangka teori namun yang paling penting merupakan refleksi atas teori terhadap dunia  kontekstual.
Pada prinsipnya kesenjangan teori belajar sebagai suatu usaha untuk memahami suatu realitas hasil bejalar, akan tetapi yang harus dilakukan sebagai aplikasi teori itu sendiri. Dengan demikian suatu keutuhan teori maka harus ada keseimbangan antara teori tersebut dan realitas lapangan. Untuk memahami realitas dilapangan bukan sekedar membaca teori yang ada namun harus ada langkah konkrit maka harus dibutuhkan namanya riset ilmiah. Sebagaimana jelaskan terkait dengan kerangka ilmiah tidak sekedar melahirkan kebingungan atau kebimbangan di kelas, sehingga yang dibutuhkan sebagai realitas dilapangan. Mungkin sedikit berbeda dengan terori belajar yang dikembangkan Vygotsky dalam margaret bahwa tindakan menunjukan kebingungan dari kumpulan data empris yang tidak dikordinasikan dengan baik.
Sejalan dengan itu perlukan pemahaman dasar untuk membentuk pola pikir dalam dalam pembelajaran. Dalam padangan filsafat dikenal dengan teori belajar konstruktivisme, secara singkta dalam tinjauan teori ini siswa diharapkan menemukan dan mengembangkan atau mentransformasikan informasi yang kompleks maka Suparno menjelaskan bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Jelasnya teori belajar konstruktivisme hasil konstruksi siswa melalui interaksi dengan obejek dan fenomena dalam lingkungan sekolah atau lingkungan dimana berada.
Teori belajar konstruktivisme memang mengkonstruksi atau membangun pemahaman siswa mengetahui pengetahuan dalam memahami realitas yang ada dalam sebuah lingkungan. Ini diperjelas oleh Karli  menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.
Dalam pembahasan ini penulis ingin mengutarakan bagaimana kesenjangan teori belajar dan praktik (lapangan) serta hubungannya dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Perlu adanya keseimbangan antara teori dan lapangan sehingga tidak krisis pemahaman terhadap suatu hasil dari pembelajaran. Mengutip pendapatan yang diutarakan oleh Siberman dalam O’neil tentang Crisis In The Classrom (Krisis di dalam kelas) bukan sekedar ketebatan pengetahuan dalam kelas akan tetapi implementasi hasil belajar dilapangan.
Teori belajar konstruktivisme memiliki keutuhan jika kita melakukan secara cermat dalam membentuk pemahaman siswa secara teoritis dan realitas lapangan. Ini berdasarkan beberapa realitas saat ini, seolah pembelajaran hanya berpusat pada target mengejar kurikulum yang sudah dicanangkan oleh pemerintah, yang seolah menjadi suatu kewajiban secara tidak langsung kita mengabaikan kondisi realitas atau konten dari inti pembelajaran itu sendiri. Sehingga tidak sejalan dengan teori belajar yang sudah dikembangankan.
 Kesenjangan ini tidak bisa diterima oleh guru begutu saja. Seorng guru mengingkan sebagaimana teori yang sementara kebijakan mengarahkan untuk dilakukan yang sudah terprogram dan mengabaikan substansi sehingga yang terjadi guru hanya mengejar yang telah ada. Seorang sadar bahwa Tugasnya  adalah membantu agar peserta didik lebih dapat mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Sehingga belajar sebagai suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu (Fosnot, 1989: 20). Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru.

Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.           
Atas dasar itulah kesenjangan teori dan lapangan, dinama guru berpandangan konstruksi hanya menginternaliasasi  pengalaman siswa dalam memahami suatu konteks yang dialaminya. Sejalan dengan itu Budianingsi menjelaskan bahwa teori belajar konstruktivisme mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi ke pikirannya, hanya pada konteks pengelaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Ini berari bahwa belajar sekedar mahami suatu teks buku.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.       
Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
Skemata;Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata.Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilas: proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
                                                                                                
Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
Pengelolaan pembelajaran, Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
Pemberian bimbingan, Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.

Hubungan Konstruksi Pembelajaran di lapangan
Menjadi sebuah ukuran yang tepat jika hubungan antara teori dan kondisi realitas yang ada dilapangan merupakan sebuah gambaran keterkaitan antara proses belajar dalam memahami sesuatu objek yang kompleks, sebagai bagian aplikasi nilai  C. Siberman dalam O’neill,  mencoba merumuskan sebuah teori yang dikenal dengan Crisis In The Classroom (Krisis dalam Kelas) ini menunjukan bahwa kondisi pembelajaran menjadi aktvitis refleksi atas teks buku atau dengan kata lain terkonsentrasi pada penghafalan teori saja serta mengabaikan kontekstual.
Disini membutuh peran teori belajar yang benar-benar dapat membentuk pola belajar yang seimbang antara teori dan lapangan. Secara jelas kita memahami teori sebagai seperangkat asumsi yang jelas tentang aspek belajar, prinsip spesifik yang diambil dari asumsi yang diuji melalui riset (Gredler). Pembentukan teori belajar berfungsi sebagai kerangka melakukan riset, memberi kerangka organisasi dari peristiwa yang kompleks, mengorganisasi pengalaman sebelumnya serta bertindak sebagai penjelasan kerja dari peristiwa.
Sebagai contoh dapat kita tentukan  ukuran pembelajaran atau sebuah hukum belajar yang berorintasi pada tindakan memahami interaksis siswa secara kompleks. Peristiwa kadang tidak disadari sebagai suatu problem mendasar dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai hukum belajar yang dikembangkan oleh Torndike dalam Gredler; sebagai suatu upaya mengidentifikasi arti penting dari konsekuensi perilaku bagi proses belajar. Pieget menghubungkan sebagai pemahaman tentang praktik kelas yang memfasilitasi perkembangan logis. Ini berarti bahwa hubungan antara lapangan dan perangkat sangat memiliki keterkaitan secara teoritis.
Anderson, Dkk dalam Schunk menjelaskan bahwa inti dari pemikiran konstruktivisme menekankan pada proses kognitif (termasuk berpikir dan belajar) terletak dalam situasi-situasi atau konteks fisik dan sosial. Ini menunjukan proses belajara bukan memahami teori yang ada akan yang paling penting implementasi kelingkungan sekita. Saya mengutip pendapat Dewey bahwa sekolah merupakan semi lingkungan masyarakat sehingga proses belajar bukan terkonsentrasi pada teks buku namun mempersiapkan peserta didik agar siap berintekasi di masyarakat umum.
Terori perkembanganPieget mewakili konstruktivisme yang memandang perkembangankognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. (Trianto, 2007). Kerangka memahami realitas bukan sekedar konstruksi yang mengarah pembentukan pola pikir akan mampu menggerakan psikomotor siswa siswa sehingga apa yang harap secara guru dapat tercapai.  Apalagi belum diperhadap karakteristik siswa yang memang secara kultural berbeda motivasi belajarnya.

Teori Belajar Sebuah Solusi
Kehadiran teori belajar merupakan sebuah indikator dalam mengukur setiap aktivitas manusia. Karena melaui teori belajar setiap orang mampu memperkuat gagasannya melalui sebuah riset ilmiah. Tanpa teori belajar, dunia pendidikan tidak bisa melakukan sebuah kerangka ilmiah dalam menganalisai kemajuan dan kemunduran pendidikan.
Secara singkat solusi yang diharapakan dalam adalah finalisasi Kurikulum 2013 sebagai langkah menginternaliasasi pengalaman-pengalam belajar siswa. Secara sepintas kurikulum 2013 lebih cenderung pada teori belajar konstruktivisme, sehingga yang perlu ditindak lanjuti yakni melaksanakan acuan dasar yang tertera dalam kurikulum. Agar tidak berbanding terbalik, guru diharap mempunyai kompetesi yang matang daam membantu siswa mengkonstrusi pengalaman belajarnya.

Simpulan
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa teori belajar bukan sekedar sebuah konsep yang tertera dalam teks-teks buku, akan teori belajar sebagai indikator menunjang seorang guru sebagai kerangka ilmiah dalam memahami pembelajaran. secara konteks pembelajaran guru menganggap bahwa kontruksi siswa didasarkan atas pengalamannya dalam lingkungan sehingga ini perlu adanya hubungan antara pemahaman teori dan kondisi-kondisi realitas yang ada baik secara fisik maupun sosial masyarakat.
Dalam proses pembelajaran dikelas guru diharap mengkonstruksi pengalaman siswa berdasarkan acuan dasar seperti kurikulum sehingga tidak sekedar memahami pengalaman siswa. Namun pengalam siswa tersebut dijewantahkan dalam kegiatan pembelajaran. perbandingan antara teori praktik itu sangat penting apalagi dalam kurikulum 2013 siswa benar-benar dikontruksi dalam pengetahuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Budianingsi A.C.,2012, Belajar dan Pembelajaran., Jakarta: Rineka Cipta
Fosnot 1996, Enquiring Tteacherrs. EnquiringLearners A constructivist Approach for Tteaching. New York: Columbia University
Gredler M.E, 2011, Learning and Instruction, Teori dan Aplikasi., Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Karli H. dan Yuliariatiningsih, M.S. (2003). Model-Model Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.
O’neill W.F, 2008.,Ideologi-ideologi Pendidikan., Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Piaget. (1981) The psychology of Intelligence.Totawa: Littlefield, Adam & Co.
------- (1971). Psychology and Epistemology.New York:The Viking Press.
Schunk D.H, 2012, Learning Theories, and Education Perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suparno P, 2001, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Tim Revisi, 2010, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian., Edisi Kelima: Universitas Negeri Malang.
Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser.




KONSEPSI LANDASAN PENDIDIKAN



Dasar Filosofis dalam Pendidikan
Karman Zein
 
Dokumentasi Pribadi
Mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, Undang-Undang Dasar serta GBHN menjadi bagian yang paling penting dalam dunia pendidikan sebagai landasan. Sebagaimana disebutkan bahwa landasan pendidikan menjadi dasar pijak adalah rangkaian proses pendidikan secara komprehensif dan tak terpisahkan, sebab berhubungan dengan sosiokultur serta cara pandangan suatu bangsa termasuk di Indonesia. Cara pandang tersebut diarahkan pada falsafah suatu masyarakat tentang pendidikan. Zaim Elmubarok menuturkan komponen pendidikan yang menyentuh langsung dengan filosofi penididikan yaitu untuk memanusiakan manusia.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana secara sistematis untuk memanusiakan manusia. Keutuhan pendidikan diperlukan adanya landasan yang kuat guna tujuan pendidikan dapat tercapai. Senada dengan Umar T, landasan-landasan pendidikan diperlukan agar memberika pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia indonesia, dan serentak dengan mendukung perkembangan masyarakat, bangsa  dan negara.
Keberadaan Pancasila saat sekarang hanya merupakan teks-teks yang telah dirumuskan oleh pendiri negara ini. Realitas yang terjadi pendidikan kiblat pendidikan di Indonesia tidak memiliki arah yang jelas. Ini disebabkan oleh adanya pengaruh globalisasi. Dalam dunia globasisasi pendidikan bukan hanya sekedar memanusiakan manusia akan tetapi pendidikan menjadi suatu lahan bisnis terkenal. Privatisasi dunia pendidikan saat ini menjadi suatu fenomena yang tak terbantahkan. Apalagi privatisasi pendidikan memiliki arah pendidikan yang sifatnya umum.
Pendidikan umum saat ini menjadi suatu tantangan yang kompleks bagi pendidikan di Indonesia. Dalam pendidikan umum, utamanya siswa dijadikan sebagai subjek untuk transfer pengetahuan (Transfer knowledge) oleh guru. Sehingga yang dicapai hanya aspek kognitif dan psikomotor semntara pada aspek afektif terabaikan. Ini sejalan dengan E. Sumantri, bahwa perlu adanya keseimbnagan antara dimensi afektif dan kognitif.
Berbagai problem kebangsaan saat ini telah melanda Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan  antara nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-sila Pancasila. Kerapuan dan tidak sejalan lagi sesuai harapan pendiri bangsa ini sehingga berbagai kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah dalam sistem pendidikan Indonesia. Pada tahun 2011 hingga 2012 pemerintah Indonesia mengakat tema besar pendidikan yaitu “membangun karakter bangsa”. Inilah gambaran singkat pendidikan di Indonesia. dinamika ini membawa kita pada sebuah paham bahwa dekadensi moral bangsa saat ini sudah tidak dibendung lagi.
Berbagai upaya telah dibangun stakholder pendidikan yang berhubungan dengan arah kebijakan pendidikan, sudah dilakukan namun belum sesuai dengan harapan yang diinginkan, hingga pada tahun 2013 melalui kebijakan baru dengan menyemprnakan kurikulum KTSP menjadi ke kurikum 2013. Pada kurikulum 2013 yang utamakan adalah dimensi afektif.  Dengan sejuta diharapkan mampun membangun sebuah kesadaran moral sebagai manifestasi nilai-nilai luhur Pancasila yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.  Menurut pendapat E. Sumantri kesadaran dalam mengamalkan nilai-nilai pancasila mampu mengarahkan anak untuk mampu membuat pertimbangan secara matang atas perilakunya dalam kehidupan sehari-hari baik disekolah maupun di masyarakat. Tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai bahan pesentase mata kuliah landasan pendidikan, serta menambah wawasan tentang pendidikan

Landasan Filosofis
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hubungan filosofis, menurut Sugiono dan Tamsil M, Pendidikan sebagai salah satu aktivitas menusia yang bersifat universal, dengan sendirinya menjadi objek material filsafat dan pendidikan sebagai ilmu,  cabang filsafat mendapatkan pengendalian dari filsafat. Keterkaitan pendidikan dan filsafat pertama-tama terjadi karena keduanya merupakan ilmu.
Filsafat sebagai ilmu menelaah segala sesuatu yang ada sedangkan pendidikan yang merupakan satau cabang ilmu filsafat membahas sebagiam objek filsafat yakni membahas manusia, dan lebih khusus lagi membahas sebagian dari aktivtas manuisa, yaitu perbuatan mendidik. Filsafat adalah berpikir sebagai upaya mencari nilai yang lebih dan ideal sedangkan  pendidikan meraalisasikan nilai tersebut dalam hidup manusia.
Aspek-aspek yang diperlukan dalam pemikiran dan praktek pendidikan meliputi karakteristik, cabang-cabang dan aliran filsafat. Karateristik filsafat dapat memberikan hasil pemikiran yang mendasar untuk melepas diri dari fakta aktual dan dengan demikian manusia tidak akan terombang-ambing oleh kondosi yang selalu beruba-ubah, penuh tidak kepastian dan tidak dapat dipakai sebagi pegangan. Namun perlu di pahami bahwa hasil pemikiran filsafat sering jga membuat menusia menjadi bingung karena apa yang dikatakan sebagai inti kebenaran, kebenaran sejati, kebenaran universal, mutlak atau istilah lain tidak di jumpai. Atas dasar itulah maka pemikir dan pelaksana pendidikan yang menggunakan pemikiran filsafat masih secara kritis dapat memilih pandangan mana yang sesuai dengan visi misi penidikan.
Ini erat kaitannya dengan, pendapat yang  dikemukakan oleh Engkoswara, Pendekatan filosofis bukan hanya mempertanyakan tentang hakikat dan tujuan hidup manusia (Human Nature and destiny) tetapi juga kemingkin pendidikan dalam arti kemampuan manusia berkembang dan menerima pengaruh dari luar terutama secara etika sehingga pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dapat diarahkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, berdasarkan potensi dan sifat-sifat bawaan seorang siswa sebagai mahluk sosial dan sebagai individu. Bibit dan konsep pendidikan seperti dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara tidak mendapat pengembangan dalam arti penelaan empirik. Konsep-konsep itu langsung dijadikan bahan pemikiran dalam praktek pendidikan, seperti halnya konsep-konsep yang datang dari luar negeri, demikian pula dasar falsafa Pancasila.

Filsafat Pendidikan
Sebagaimana cabang ilmu lainnya pendidikan merupakan cabang dari filsafat. Namun pendidikan bukan merupakan filsafat umum/murni melainkan filsafat khusus atau terapan. Dalam filsafat umum yang menjadi objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu, sedangkan filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia.
Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan
Objek dalam Filsafat Ilmu Pendidikan dapat dibedakan dalam 4 (empat) macam yaitu:
1.      Ontologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi Ilmu Pendidikan
2.      Epistomologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat objek formal dan material Ilmu Pendidikan
3.      Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pengetahuan
4.      Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis Ilmu Pendidikan

Secara detail dapat di cermati pada beberapa dasar filsafat pendidikan, melalui pendapat yang dipaparkan, E. Sumantri; 2007,  yakni:
Dasar Ontologis pendidikan
Aspek utama dalam pendidikan adalah realitas yang dijangkau oleh teori dan pendidikan melalui pengalaman pancaindra adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materi pendidikan adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap dengan aspek –aspek kpribadiannya.
Objek formal pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya didalam fenomena atau situasi pendidikan. sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak bagi terlaksananya mendidik dan mengajar.

Dasar Epistemologi Pendidikan
Dasar epistemologi sangat dibutuhkan dalam pendidikan demi mengembangkan ilmu secara produktif dan bertanggungjawab.ini dasar epistemologi ini adalah agar dapat ditentukan bahwa menjelaskan objek formalnya, telaah pendidikan tidak hanya  mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepaada  telaah teori dan pendidikan sebagai ilmu otonom.

Dasar Aksiologi Pendidikan
Pada dasar aksiologi ini lebih mengerucut pada manfaat teori pendidikan secara otom tetapi juga menjadi dasar yang sebaik-baik sebagai proses pemberdayaan manusia secara beradab
Dalam kajian filsafat terdapat cabang-cabang yang gunakan untuk membantu dan pelaksana penidikan dalam upaya mencapai hasil pendidikan yang optimal. menurut Umar T, Dalam  tinjauan ini filosofi pendidikan berarti berpikir bebas serta merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu. dengan menggunakan dua pendekatan yakni:
1.      Filsafat sebagai kelanjutan berpikir ilmiah yang dapat dilakukan oleh setiap orang serta sangat bermanfaat dalam memberi makna kepada ilmu pengetahuan itu
2.      Filsafat sebagai kajian khusus yang formal, yang mencakup logika, epistemologi, etika, estetika, metafisika dan serta sosial dan politik.
Disamping itu berkembang pula cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang spesifik, seperti filsafat Ilmu, Hukum, dan pendidikan. landasan filosofi pendidikan dikaji terutama  melalui filsfat pendidikan dengan sudut pandang filsfat. pemikiran lain yang sejalan juga dikemukakan oleh Sugiono dan Tamsil M.  pandangan dan pemikrian dapat menimbulkan perbedaan pendapat tentang suatu masalah yang sama. Baik itu pada filsafat secara umum maupun pada filsafat pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian  ada beberapa aliran filsafat secara umum yang sering gunakan untuk merami perbedaan perbedaan pendapat tersebut. Aliran-aliran tersebut yakni: aliran progresivisme, esensialisme dan perenialisme.
Secara umum progresivisme berpijak pada aliran filsafat paragmatisme, yaitu  aliran yang berpandangan  bahwa kebenaran segala sesuatu ada pada kegunaan praktisnya. Paragmatisme memandang bahwa realita bukanlah semesta atau ide yang sifatnya abstrak, umum tetapi merupakan suatu berupa proses bukan suatu yang tetap, hakikat segala sesuatu dipandang dari kegunaannya. Aliran progresivisme memiliki pandangan terkait dengan pendidikan yaitu pendidikan harus membawa kemajuan, tidak konservatif, tidak otoriter, pendidikan harus memperhatikan kemampuan dasar manusia yang merupakan motor penggerak bagi kemajuan dirinya.
Berbeda dengan aliran progresivisme yang berpendapat bahwa tidak ada yang sifatnya universal disamping adanya perubahan juga ada yang sifatnya abadi, tetap sepanjang zaman, yaitu berupa esensinya suatu, intinya sesuatu, hakikat sesutu yang tidak berubah. Pendapat aliran esensialisme tentang pendidikan  harus menemukan hal-hal yang esensi tersebut. Sementara aliran perenialisme memiliki suatu pandangan bahwa dalam yang selalu berubah tetap ada benang merah yang menghubungkan zaman yang satu dengan zaman yang lain, atau wilayah yang satu dengan wilayah yang lain pada zaman yang sama.
Pandangan perelinialisme menempuh pendekatan regresif yaitu mencari pegangan dari masa lalu yakni apa yang menjadi pegangan hidup orang-orang  pada zaman dulu yang sekarang masih juga berfungsi sebagai pegangan hidup. Pada konteks pendekatan pendidikan aliran perenialisme memandang titik tolak belajar manusia adalah rasional  semntara kemampuan manusia adalah berpikir.dalam aliran ini filsafat pendidikan yang memilki keyakinan pengetahuan merupakan dasar pokok pendidikan.

Landasan Folosofi  Pancasila
Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia,dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dengan kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam pendidikan.
P4 Atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan pancasila dalam kehidupan sehari-hari,termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila ituharuslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia,Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila diakui menjadi dasar negara sejak bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan. Kedudukan pancasila sebagai sumber-sumber hukum dan cara pandang atau filosofi bangsa Indonesia. Dengan demikian sangatlah jelasjika sistem pendidikan nasional Indonesia berkiblat pada nilai filosofi yang yang terkandung dalam Pancasila. Karena substansi dari ketetapan undang-undanga serta pasal menitipbratkan pada pembangunan nasional salah satunya adalah pendidikan. hakikat dari pendidikan adalah ciptakan manusia yang berakhlak mulia dan budi pekerti, atau dengan kata lain memanusiakan manusia.
Penegasan dalam pengamalan Pancasila sebagai falsafah bangsa haruslah dalam arti keseluruhan yang terkandung di setiap sila-sila Pancasila, sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini dapat dijumpai dalam berbagai berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai sekarang, khususnya dalam Undang-undang No.4 Tahun 1950 (Jo. No.12 tahun 1954) tentang dasar-dasar pendidikan di sekolah dan Ketatapan-ketetapan MPR dan MPRS yang menyangkut pendidikan nasional, dalam Engkoswara, 2007:320)
Seiring dengan itu Ki. Hajar Dewantara merumuskan beberapa semboyan yang memiliki makna yang dalam. ”Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan kita menjadi teladan/contoh), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah ikut serta), Tut Wuri Handayani (dibelakang memberi dorongan/dukungan)adalah yang semboyan sekaligus filosofi yang membakar sprit perjuangannya kalah itu dibawah perguruan Taman siswa. Ditengah tekanan penjajahan Ki Hajar Dewantara tetap memiliki cita-cita yang tinggi untuk memerdekakan manusia Indonesia dari kebodohan dan lebih penting adalah kemerdekaan Indonesia saat itu. Kini Kementrian Pendidikan nasional saat ini mengabadikan seboyan tutwuri handayani” yang berati dibelakang memberi dorongan/dukungan, sebagai Semboyan Pendidikan nasional.
Dasar inilah yang  menjadi landasan utama sistem pendidikan nasional dalam mencapai tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaiman termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Sehingga  dalam pendidikan yang perlu dipertahankan adalah rasa persatuan dan kesatuan sebagai manifestasi nilai pancasila yaitu kekeluargaan, ini sejalan dengan pendapat yang utara oleh Kartohadirprojo dalam bukunya S. Surisno mengatkan bahwa pangkal dalam filsafat pancasila yaitu pemikiran kekeluargaan.
.

Daftar Bacaan
Engkoswara, 2007.,Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Pendidikan Berbasis Unggulan Lokal., Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI Bandung
Sumantri E, 2007., Ilmu Aplikasi Pendidikan, Penididikan Umum,. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI Bandung
M. In’am Esa, 2010.,Menuju Pemikiram Filsafat “Siapa yang Menguasai Pengetahuan Maka Ia Menguasai Dunia.,UIN Maliki Pres: Malang
Sugiono, Tamsil M, 2012.,Filsafat Pendidikan Teori dan Praktik.,PT Remaja Rosdakarya: Bandung
S. Sutrisno, 2006.,Filsafat dan Ideologi Pancasila.,PT Andi: Yogyakarta
Umar T, S.L.L Sulo, 2005.,Pengantar Pendidikan., PT Rineka Cipta: Jakarta
Internet: