Teori Pembelajaran Sebagai dasar Pedagogik
Oleh: Karman Zein,
M.Pd
![]() |
Gambar: Akvitas pembelajaran dikelas |
Mengembangkan sebuah pemahaman dasar dalam memaknai nilai
secara umum serta penalaran dasar atas kajian realitas sebagai tindakan
dibutuhkan aktivitas belajar. Kegiatan belajar bisa terdeteksi apabila adanya
keperluan seseorang untuk ingin mengetahui, proses ini bisa diartikan sebagaai tindakan
belajar. Jika merujuk pada pendapat Margaret E Gledler mengenai belajar metode
untuk pelatihan refleks guru dalam merespons peristiwa baru menjadi menjadi
pendekatan teoritis, secara singkat berkaitan dengan teori belajar. Tentu bukan
sekedar memahami itu sebagai kerangka teori namun yang paling penting merupakan
refleksi atas teori terhadap dunia
kontekstual.
Pada prinsipnya kesenjangan teori belajar sebagai suatu usaha
untuk memahami suatu realitas hasil bejalar, akan tetapi yang harus dilakukan
sebagai aplikasi teori itu sendiri. Dengan demikian suatu keutuhan teori maka
harus ada keseimbangan antara teori tersebut dan realitas lapangan. Untuk
memahami realitas dilapangan bukan sekedar membaca teori yang ada namun harus
ada langkah konkrit maka harus dibutuhkan namanya riset ilmiah. Sebagaimana
jelaskan terkait dengan kerangka ilmiah tidak sekedar melahirkan kebingungan
atau kebimbangan di kelas, sehingga yang dibutuhkan sebagai realitas
dilapangan. Mungkin sedikit berbeda dengan terori belajar yang dikembangkan
Vygotsky dalam margaret bahwa tindakan menunjukan kebingungan dari kumpulan
data empris yang tidak dikordinasikan dengan baik.
Sejalan dengan itu perlukan pemahaman dasar untuk membentuk
pola pikir dalam dalam pembelajaran. Dalam padangan filsafat dikenal dengan
teori belajar konstruktivisme, secara singkta dalam tinjauan teori ini siswa
diharapkan menemukan dan mengembangkan atau mentransformasikan informasi yang
kompleks maka Suparno menjelaskan bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika
ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Jelasnya teori
belajar konstruktivisme hasil konstruksi siswa melalui interaksi dengan obejek
dan fenomena dalam lingkungan sekolah atau lingkungan dimana berada.
Teori belajar konstruktivisme memang mengkonstruksi atau
membangun pemahaman siswa mengetahui pengetahuan dalam memahami realitas yang
ada dalam sebuah lingkungan. Ini diperjelas oleh Karli menyatakan konstruktivisme adalah salah satu
pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses
belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang
hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar
pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi
dengan lingkungannya.
Dalam pembahasan ini penulis ingin mengutarakan bagaimana
kesenjangan teori belajar dan praktik (lapangan) serta hubungannya dengan
realitas dalam kehidupan sehari-hari. Perlu adanya keseimbangan antara teori
dan lapangan sehingga tidak krisis pemahaman terhadap suatu hasil dari
pembelajaran. Mengutip pendapatan yang diutarakan oleh Siberman dalam O’neil
tentang Crisis In The Classrom (Krisis
di dalam kelas) bukan sekedar ketebatan pengetahuan dalam kelas akan tetapi
implementasi hasil belajar dilapangan.
Teori belajar konstruktivisme memiliki keutuhan jika kita
melakukan secara cermat dalam membentuk pemahaman siswa secara teoritis dan
realitas lapangan. Ini berdasarkan beberapa realitas saat ini, seolah
pembelajaran hanya berpusat pada target mengejar kurikulum yang sudah
dicanangkan oleh pemerintah, yang seolah menjadi suatu kewajiban secara tidak
langsung kita mengabaikan kondisi realitas atau konten dari inti pembelajaran
itu sendiri. Sehingga tidak sejalan dengan teori belajar yang sudah dikembangankan.
Kesenjangan ini tidak
bisa diterima oleh guru begutu saja. Seorng guru mengingkan sebagaimana teori
yang sementara kebijakan mengarahkan untuk dilakukan yang sudah terprogram dan
mengabaikan substansi sehingga yang terjadi guru hanya mengejar yang telah ada.
Seorang sadar bahwa Tugasnya adalah
membantu agar peserta didik lebih dapat mengkonstruksi pengetahuannya sesuai
dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu disesuaikan dengan
kebutuhan dan situasi peserta didik. Sehingga belajar sebagai suatu proses
untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu
(Fosnot, 1989: 20). Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta,
tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka
pengertian yang baru.
Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru,
apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis.
Atas dasar itulah kesenjangan teori dan lapangan, dinama guru berpandangan
konstruksi hanya menginternaliasasi
pengalaman siswa dalam memahami suatu konteks yang dialaminya. Sejalan
dengan itu Budianingsi menjelaskan bahwa teori belajar konstruktivisme mengakui
bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi ke pikirannya, hanya pada
konteks pengelaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar
belakang dan minatnya. Ini berari bahwa belajar sekedar mahami suatu teks buku.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya
memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif
membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa
menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat
pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan
bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan
mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk
mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang
ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga
diperoleh konstruksi yang baru.
Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji
dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
Teori
Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran
menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
Skemata;Sekumpulan konsep yang digunakan
ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata.Sejak kecil
anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema).
Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing
dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat
menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci
berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif
anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua.
Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses
penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilas: proses
kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman
baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi
dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini
berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru
pengertian orang itu berkembang.
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan
akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar
dengan struktur dalamnya.
Teori
Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual
dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman
anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada
simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir,
berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian perkembangan
kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar
menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir
diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama
teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting
kelas berbentuk pembelajaran kooperatif
antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga
siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah
pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding,
semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya
sendiri.
Pengelolaan pembelajaran, Interaksi sosial individu dengan lingkungannya
sengat mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan
sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.
Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas
belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai
kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan
memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
Pemberian bimbingan, Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan
belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas
tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985),
yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya. Menurut
Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah
perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan
dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.
Hubungan
Konstruksi Pembelajaran di lapangan
Menjadi sebuah ukuran yang tepat jika hubungan antara teori dan kondisi
realitas yang ada dilapangan merupakan sebuah gambaran keterkaitan antara
proses belajar dalam memahami sesuatu objek yang kompleks, sebagai bagian
aplikasi nilai C. Siberman dalam O’neill, mencoba merumuskan sebuah teori yang dikenal
dengan Crisis In The Classroom (Krisis
dalam Kelas) ini menunjukan bahwa kondisi pembelajaran menjadi aktvitis
refleksi atas teks buku atau dengan kata lain terkonsentrasi pada penghafalan
teori saja serta mengabaikan kontekstual.
Disini membutuh peran teori belajar yang benar-benar dapat membentuk pola
belajar yang seimbang antara teori dan lapangan. Secara jelas kita memahami
teori sebagai seperangkat asumsi yang jelas tentang aspek belajar, prinsip spesifik
yang diambil dari asumsi yang diuji melalui riset (Gredler). Pembentukan teori
belajar berfungsi sebagai kerangka melakukan riset, memberi kerangka organisasi
dari peristiwa yang kompleks, mengorganisasi pengalaman sebelumnya serta
bertindak sebagai penjelasan kerja dari peristiwa.
Sebagai contoh dapat kita tentukan
ukuran pembelajaran atau sebuah hukum belajar yang berorintasi pada
tindakan memahami interaksis siswa secara kompleks. Peristiwa kadang tidak
disadari sebagai suatu problem mendasar dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai
hukum belajar yang dikembangkan oleh Torndike dalam Gredler; sebagai suatu
upaya mengidentifikasi arti penting dari konsekuensi perilaku bagi proses
belajar. Pieget menghubungkan sebagai pemahaman tentang praktik kelas yang
memfasilitasi perkembangan logis. Ini berarti bahwa hubungan antara lapangan
dan perangkat sangat memiliki keterkaitan secara teoritis.
Anderson, Dkk dalam Schunk menjelaskan bahwa inti
dari pemikiran konstruktivisme menekankan pada proses kognitif (termasuk
berpikir dan belajar) terletak dalam situasi-situasi atau konteks fisik dan
sosial. Ini menunjukan proses belajara bukan memahami teori yang ada akan yang
paling penting implementasi kelingkungan sekita. Saya mengutip pendapat Dewey
bahwa sekolah merupakan semi lingkungan masyarakat sehingga proses belajar
bukan terkonsentrasi pada teks buku namun mempersiapkan peserta didik agar siap
berintekasi di masyarakat umum.
Terori perkembanganPieget mewakili konstruktivisme yang memandang
perkembangankognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun
sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman dan interaksi-interaksi
mereka. (Trianto, 2007). Kerangka memahami realitas bukan sekedar konstruksi
yang mengarah pembentukan pola pikir akan mampu menggerakan psikomotor siswa
siswa sehingga apa yang harap secara guru dapat tercapai. Apalagi belum diperhadap karakteristik siswa
yang memang secara kultural berbeda motivasi belajarnya.
Teori
Belajar Sebuah Solusi
Kehadiran teori belajar merupakan sebuah indikator dalam mengukur setiap
aktivitas manusia. Karena melaui teori belajar setiap orang mampu memperkuat
gagasannya melalui sebuah riset ilmiah. Tanpa teori belajar, dunia pendidikan
tidak bisa melakukan sebuah kerangka ilmiah dalam menganalisai kemajuan dan
kemunduran pendidikan.
Secara singkat solusi yang diharapakan dalam adalah finalisasi Kurikulum
2013 sebagai langkah menginternaliasasi pengalaman-pengalam belajar siswa.
Secara sepintas kurikulum 2013 lebih cenderung pada teori belajar
konstruktivisme, sehingga yang perlu ditindak lanjuti yakni melaksanakan acuan
dasar yang tertera dalam kurikulum. Agar tidak berbanding terbalik, guru
diharap mempunyai kompetesi yang matang daam membantu siswa mengkonstrusi
pengalaman belajarnya.
Simpulan
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa teori
belajar bukan sekedar sebuah konsep yang tertera dalam teks-teks buku, akan
teori belajar sebagai indikator menunjang seorang guru sebagai kerangka ilmiah
dalam memahami pembelajaran. secara konteks pembelajaran guru menganggap bahwa
kontruksi siswa didasarkan atas pengalamannya dalam lingkungan sehingga ini
perlu adanya hubungan antara pemahaman teori dan kondisi-kondisi realitas yang
ada baik secara fisik maupun sosial masyarakat.
Dalam proses pembelajaran dikelas guru diharap mengkonstruksi pengalaman
siswa berdasarkan acuan dasar seperti kurikulum sehingga tidak sekedar memahami
pengalaman siswa. Namun pengalam siswa tersebut dijewantahkan dalam kegiatan
pembelajaran. perbandingan antara teori praktik itu sangat penting apalagi
dalam kurikulum 2013 siswa benar-benar dikontruksi dalam pengetahuannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Budianingsi A.C.,2012, Belajar dan Pembelajaran., Jakarta: Rineka Cipta
Fosnot 1996, Enquiring Tteacherrs.
EnquiringLearners A constructivist Approach for Tteaching. New York:
Columbia University
Gredler M.E, 2011, Learning and Instruction, Teori dan Aplikasi., Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Karli H. dan Yuliariatiningsih, M.S. (2003). Model-Model
Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.
O’neill W.F, 2008.,Ideologi-ideologi Pendidikan., Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Piaget. (1981) The psychology of Intelligence.Totawa:
Littlefield, Adam & Co.
------- (1971). Psychology and Epistemology.New
York:The Viking Press.
Schunk D.H, 2012, Learning Theories, and Education Perspective. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Suparno P, 2001, Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.
Tim Revisi, 2010, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah,
Tugas Akhir, Laporan Penelitian., Edisi Kelima: Universitas Negeri Malang.
Trianto, 2007, Model-model
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publiser.